Ketika semua amarah berkecambuk. Mendedam. Hanya tangis
berulang yang tertumpahkan. Merasa amat terhina sebagai bagian orang yang tak
lolos seleksi dalam sebuah kompetisi. Terlalu pahit rasanya menjadi bagian
terpencil. Terkucilkan. Segalanya terasa sakit. Dan ternyata dibalik itu semua
tak bersalah hanya terjadi sedikit kesalahpahaman. Lalu, muncullah yang tak
tahu menahu seakan patuh pada peraturan tidak resmi berupa pesan singkat,
hingga lembaran dengan tinta hitam yang kuat kuasanya tidak memiliki kuasanya
lagi.
Ketika semua pembelaan tak ada guna hanya bisa Terpojok di
sudut amarah yang terpendam, dan pecahlah
segalanya. Tangisan penuh amarah dengan kata – kata kasar terlontar tak
terkontrol. Lucu rasanya, merasa bodoh sekali meneteskan buliran demi buliran
seakan memelas untuk dikasihani. Tidak. Untuk apa dikasihani bila semuanya
benar dan tak bersalah. Bukti apalagi yang patut diberikan sebagai syarat masuk
yang hanya sekejap saja itu (?)
Ketika waktu berlalu begitu cepat. Jarum detik berputar
mengitari angka – angka itu, semakin
lama semakin menyudutkan, terbuang sudah. Terlewatkan sudah, hanya membuat
merasa semakin terdesak. Tak ada kata yang pantas di dengar, maaf pun mungkin
tak cukup untuk segala rasa ini. Tak ingin menjadi munafik dan menampik bahwa
itu merupakan kesalahan kecil. Hanya saja menjadikan kambing hitam orang lain
menjadi sangat tak pantas terucap. Tak mudah untuk melupakan segala kata yang
terucap seperti kata sebuah pepatah “mulutmu harimaumu”. Tak mudah pula
melupakan tulang – tulang keras dengan tekanan – tekanan kata yang terdengar. Hingga
umpatan – umpatan hati tak terarah tergumam dalam setiap doa. Hidup memang
pelik, keras dan kejam. Harusnya kuat menjalani ini semua meski harus
menguatkan diri yang terlalu rapuh. Mungkin (tak) mampu. Yaaa harus mampu.